Asal Usul Desa Cikijing, Berawal dari Kegagalan Pasukan Kesultanan Cirebon Islamkan Kerajaan Talaga Manggung

- 11 Juni 2022, 06:00 WIB
Asal usul Desa Cikijing yang berawal dari nama sebuah kerang air tawar.
Asal usul Desa Cikijing yang berawal dari nama sebuah kerang air tawar. /Fazriel Dhany/Youtube Aang Erlangga Channel

KLIK CIAYUMAJAKUNING - Asal usul Desa Cikijing yang berada di Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka, berawal dari kegagalan pasukan Kesultanan Cirebon dalam menyebarkan agama Islam.

Misi Pasukan Kesultanan Cirebon yang bermaksud menyebarkan agama Islam di Kerajaan Talaga, gagal. Mereka pulang kemudian di tengah perjalanan menemui rawa-rawa yang menjadi asal usul Desa Cikijing dibentuk.

Rawa tersebut dihuni hewan menyerupai kerang besar yang dalam bahasa Sunda disebut Kijing, dari nama itulah kemudian disematkan menjadi asal usul Desa Cikijing.

Baca Juga: Pengabdian Prajurit Pelarian dari Makassar, Menjadi Asal Usul Desa Bugis

Mengutip laman Dokumen.Tips, asal usul Desa Cikijing berawal pada abad ke 17 Masehi.

Desa Cikijing sebelum terbentuk, pada mulanya merupakan sebuah hutan kecil yang dilingkari rawa-rawa yang membentang dari sebelah Barat ke Selatan hingga ke sebelah Timur.

Rawa-rawa tersebut merupakan tempat populasi kerang air tawar, yang dalam bahasa Sunda disebut Kijing.

Wilayah tersebut merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Talaga Manggung di bawah Kerajaan Galuh.

Pada waktu itu, Kerajaan Galuh merupakan bawahan Kerajaan Padjajaran yang menganut Agama Hindu.

Baca Juga: Lewat Sayembara Pembuatan Bedug, Asal Usul Desa Dompyong Terbentuk

Pada tahun 1497 M, Syekh Syarif Hidayatullah memproklamirkan berdirinya kerajaan Islam di Jawa Barat tepatnya Kesultanan Cirebon yang terpisah dari Kerajaan Padjajaran.

Sejak saat itulah, Syekh Syarif Hidayatullah gencar menyebarkan Agama Islam khususnya di Jawa Barat.

Namun, di tengah gencarnya menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, wilayah Kerajaan Talaga Manggung luput dari perhatiaan Syekh Syarif Hidayatullah.

Sehingga, ketika ajaran Agama Islam sudah menyebar di pulau Jawa, di wilayah Kerajaan Talaga Manggung masih beragama Hindu.

Baca Juga: Runtuhnya Kerajaan Galuh Pakuan Menjadi Asal Usul Desa Kamarang di Cirebon

Sampai Syekh Syarif Hidayatullah wafat di tahun 1568, Kerajaan Talaga Manggung masih belum tersentuh ajaran Islam.

Sekitar tahun 1632, Sedang Kamuning yang bergelar Dipati Carbon I melanjutkan penyebaraan Islam sampai dengan sekitar tahun 1693.

Kemudian penyebaran digantikan oleh Emas Zainul Arifin yang bergelar Ratu Pakungwati I, yang memerintah sampai dengan sekitar tahun 1743.

Hingga sekitar tahun 1744, Sedang Gayam yang bergelar Dipati Carbon II berkuasa.

Baca Juga: Asal Usul Desa Siluman Subang, Keajaiban Sungai Ciciluman di Masa Penjajahan

Kemudian memerintahkan pada abdinya untuk menyebarkan Islam ke wilayah Kerajaan Talaga Manggung tepatnya di daerah Sangiang yang disebutkan rajanya masih memeluk Hindu.

Namun pasukan utusan Dipati Carbon II yang mengemban misi mengislamkan wilayah Talaga dan sekitarnya, gagal melaksanakan tugas.

Konon katanya, Raja Talaga Manggung yang menjadi misi pasukan Kesultanan Cirebon agar memeluk agama Islam tiba-tiba menghilang.

Raja Talaga Manggung menghilang, dengan cara masuk ke dalam tanah lalu menjadi sebuah telaga.

Baca Juga: Asal Usul Desa Japara Kuningan, Berawal dari Tragedi Pemenggalan Santri asal Jepara, Jawa Tengah

Kemudian semua prajurit Raja Talaga Manggung, tenggelam ke dalam telaga tersebut, dan berubah menjadi lele putih.

Hilangnya raja yang masuk ke dalam tanah dan berubah menjadi telaga, dalam bahasa Sunda disebut 'leugit' atau 'ngahiang'.

Sedangkan telaga yang terbentuk dari jelmaan raja tersebut, dalam bahasa Sunda disebut 'situ'.

Hingga akhirnya, telaga tersebut terkenal dengan sebutan Situ Sangiang.

Gagal melaksanakan misi, Dipati Carbon II kemudian berniat kembali ke Kesultanan Cirebon.

Baca Juga: Sejak Kapan 1 Juni Menjadi Hari Lahirnya Pancasila? Berikut Sejarahnya

Namun dalam perjalanan pulang, melewati sebuah hutan kecil yang dilingkari rawa-rawa yang banyak dihuni oleh kerang putih, dalam bahasa disebut Kijing.

Kemudian, salah seorang utusan yang bernama KH Abdul Fatah yang bergelar Eyang Nalagati, memutuskan untuk bermukim di daerah tersebut.

KH Abdul Fatah kemudian tinggal dan bermukim di wilayah tersebut, kemudian memberi nama 'Cikijing'.

Cikijing diambil dari gabungan dua nama yang berawal dari kerang (Kijing) yang hidup di air rawa (Cai).

Baca Juga: Tanah Leluhur: Larangan Modernisasi dan Mandi Tengah Hari di Wilayah Suku Baduy

Selanjutnya Kijing dijadikan lambang Desa Cikijing, pada awal mula, pemukiman penduduk dimulai di sebelah Selatan dan Timur (sekarang Blok Ahad).

Untuk tetap menyebarkan agama Islam, maka dibangunlah sebuah masjid yang disebut Masjid Kuno.

Sekarang, masjid tersebut bernama Masjid At-Taqwa yang merupakan masjid kuno yang pertama kali dibangun di Desa Cikijing dengan konstruksi dari kayu.

Namun sekarang masjid tersebut mengalami perubahan konstruksi, bentuk aslinya sudah hilang. (*)

Editor: Fazriel Dhany


Tags

Terkait

Terkini