Lewat Sayembara Pembuatan Bedug, Asal Usul Desa Dompyong Terbentuk

- 7 Juni 2022, 22:42 WIB
Asal usul Desa Dompyong Wetan dan Kulon berawal dari sayembara membuat bedug.
Asal usul Desa Dompyong Wetan dan Kulon berawal dari sayembara membuat bedug. /Fazriel Dhany/Youtube Aranage Channel

KLIK CIAYUMAJAKUNING - Asal usul Desa Dompyong berawal dari sebuah sayembara yang dilakukan oleh Pangeran Sutajaya untuk membuat sebuah bedug.

Pangeran Sutajaya adalah pemimpin dari kerajaan yang ada di daerah Pagebangan di pantai utara Pulau Jawa, yang cukup terkenal. Lewat pangeran inilah, asal usul Desa Dompyong akhirnya terbentuk.

Bedug yang diinginkan Pangeran Sutajaya, berasal dari sebuah pohon Widasari yang kokoh, namun tidak ada yang mampu merobohkan pohon tersebut, sehingga dibuatlah sayembara yang sekaligus menjadi asal usul Desa Dompyong.

Berikut ini asal usul Desa Dompyong, yang pada akhirnya menjadi dua pemerintahan. Tahun 1982, dimekarkan menjadi Desa Domyong Wetan dan Desa Dompyong Kulon.

Pada jaman dahulu di daerah Pagebangan berdiri sebuah kerajaan yang aman dan sentosa yang masih disebut jaman Pinayeun, dipimpin oleh Pangeran Sutajaya.

Baca Juga: Asal Usul Desa Japara Kuningan, Berawal dari Tragedi Pemenggalan Santri asal Jepara, Jawa Tengah

Pagebangan adalah sebuah daerah di pantai utara Pulau Jawa yang sangat subur. Penduduknya hidup makmur dan termashur hingga terkenal ke seluruh jagat.

Sebagian besar penduduknya pada waktu itu merupakan petani, lewat nasihat yang diberikan Pangeran Sutajaya, hasil panen mereka mencukupi, bahkan swasembada pangan.

Dari kemashuran daerah Kerajaan Pagebangan itu, banyak raja-raja dari wiayah lain ingin berkunjung untuk belajar.

Pangeran Sutajaya adalah seorang pangeran yang arif bijaksana, adil dalam memimpin pada pemerintah.

Sarana ibadah seperti langgar dan masjid terdapat di semua pelosok, diantara penduduk saling menghormati tidak ada perbedaan antara miskin dan kaya.

Selain itu, kebudayaan daerah betul-betul dibina. Seperti Tayuban, Seni Bajidoran, Seni Burok, dan sebagian Seni Keraton yang bernafaskan Islam selalu diadakan setiap malam Jumat Kliwon.

Begitulah situasi suatu daerah yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang bijaksana yang mempunyai nilai jiwa kemanusiaan yan sangat tinggi.

Baca Juga: Asal Usul Desa Siluman Subang, Keajaiban Sungai Ciciluman di Masa Penjajahan

Hingga suatu hari, Pangeran Sutajaya bermaksud membuat sebuah bedug sebagai sarana pelengkap ibadah.

Para senopati dan penggawa diajak musyawarah untuk pembuatan bedug ini.

Adapun kayu yang dipilih oleh pangeran yaitu kayu Widasari yang terdapat di daerah Selatan (Wanasari sekarang).

Namun kayu Widasari yang diinginkan, tak seorangpun yang mampu merobohkan, diberikan berupa sesajen dan berbagai upaya lain, tetap saja tidak ada yang mampu.

Akhirnya pangeran mengadakan sayembara besar yang ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat, baik di lingkungan kerajaan maupun di luar wilayah.

"Barang siapa yang dapat merobohkan pohon Widasari, kemudian dibuat bedug sampai selesai, maka akan diberikan hadiah," tulis sayembara tersebut.

Baca Juga: Runtuhnya Kerajaan Galuh Pakuan Menjadi Asal Usul Desa Kamarang di Cirebon

Adapun hadiah yang dimaksud, sebidang tanah sebelah Selatan Pagebangan dan dinikahkan dengan Puteri Ayu Kanjeng Sunan Pangeran Sutajaya.

Sayembara tersebar ke seluruh wilayah, para senopati dan jagoan pilihan mencoba peruntungan untuk mendapatkan hadiah dari sayembara tersebut.

Berbagai ilmu dan peralatan yang digunakan untuk merobohkan pohon Widasari, tidak ada satu pun yang berhasil.

Para peserta yang ikut sayembara, banyak diantaranya yang mengalami luka saat berusaha merobohkan pohon.

Bahkan tidak sedikit yang harus mengorbankan jiwa demi bisa merobohkan pohon yang akan dijadikan bedug tersebut.

Kemudian, datanglah seorang pemuda gagah perkasa, mengenakan ikat kepala dan langkahnya meyakinkan.

Baca Juga: Tanah Leluhur: Larangan Modernisasi dan Mandi Tengah Hari di Wilayah Suku Baduy

Semua isi keraton terkesima atas penampilan dan langkah mantap pemuda tersebut.

Di hadapan Pangeran Sutajaya, pemuda gagah tersebut meminta izin untuk mengikuti sayembara yang tengah berlangsung.

Izin diberikan kepada pemuda tersebut, namun Pangeran Sutajaya ingin mengetahui dulu siapa dan dari mana pemuda gagah itu.

"Hamba adalah Raden Gentong yang berasal dari daerah Selatan yaitu Desa Luragung," ucap pemuda yang mengaku bernama Raden Gentong itu.

Usai perkenalan, Raden Gentong pamit sambil meminta doa dan restu kepada pangeran serta pada sesepuh keraton agar usahanya berhasil.

Dengan segala kemampuannya, Raden Gentong mulai mengerahkan semua tenaga untuk merobohkan Pohon Widasari tersebut.

Semua orang yang hadir termasuk pangeran, terkesima dengan kehebatan Raden Gentong dalam usahnya merobohkan pohon.

Baca Juga: Tanah Leluhur: Anti Teknologi, Kampung Benda Kerep Argasunya Ramai Sambut Maulid Nabi

Dalam waktu yang tidak lama, akhirnya Pohon Widasari mulai miring, kemudian tiba-tiba tumbang.

Setelah Pohon Widasari itu roboh, tiba-tiba tatal (serpihan) kayu yang tadinya berwarna putih berubah menjadi seperti warna pelangi dan mengeluarkan cahaya.

Sejak kejadian itu, lokasi tersebut yang termasuk Desa Gembongan diberi nama Warnasari.

Kayu yang sudah roboh itu, diseretnya untuk dihanyutkan ke sungai yang kemudian dibuat seperti rakit untuk dibawa ke Keraton Pagebangan.

Namun dalam perjalanan, keajaiban terjadi pada sungai, airnya yang keruh tiba-tiba berubah menjadi jernih.

Setelah sampai di Keraton Pagebangan, kayu dipotong menjadi dua bagian, akan tetapi Raden Gentong kebingungan saat akan memasang kulit kerbau pada bedug.

Hingga seorang penduduk setempat memberikan saran, pemasangan kulit bedug itu harus menggunakan jarum perunggu.

Baca Juga: Terkena Sihir atau Santet? Berikut Cara Menangkal Kata Buya Yahya

Hingga akhirnya, bedug yang diinginkan Pangeran Sutajaya jadi, disimpan untuk menjadi tanda panggilan adzan.

Bedug tersebut sudah bisa digunakan dan membawa keramaian dalam masyarakat untuk beribadah.

Adapun jarum yang digunakan, dalam bahasa jawa disebut Dom, dan keramaian pada saat itu diistilahkan Pyong.

Dengan kedua kata tersebut, terciptalah Dompyong yang mengandung arti keramaian yang luar biasa adalah dialog Bahasa Sunda pada waktu itu.

Kata Dompyong kemudian dijadikan sebuah nama pedukuhan atau sebuah desa yang akan ditempati oleh Raden Gentong, sebagai hadiah dari Pangeran Sutajaya atas sayembara itu.

Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati tanggal 15 Juli 1982, Desa Dompyong dimekarkan menjadi dua. Yakni Desa Dompyong Wetan dan Desa Dompyong Kulon. ***

Editor: Fazriel Dhany

Sumber: YouTube Aranage Channel


Tags

Terkait

Terkini